Rabu, 21 Maret 2012

Asal Mula Nama Desa Selakambang (Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah)

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kabupaten di Purbalingga-Jawa Tengah terdapat dua buah desa yang berbatasan secara langsung yaitu desa Pagerandong dan desa Selamanik. Kedua desa tersebut maasing-masing dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang disebut oleh masyarakat dahulu dengan nama “sesepuh”. Sesepuh memiliki makna orang yang dihormati. Desa Selamanik dipimpin oleh seseorang yang dijuluki Eyang Purwasuci, sedangkan desa Pagerandong dipipmpin oleh Eyang Adi Menggala. Konon kedua orang tersebut memiliki kekuatan yang luar biasa. Sehingga dengan kekuatan itu mereka disegani oleh orang lain dan dipercaya untuk menjaga keamanan desa dari hal-hal yang tidak diinginkan. Dulunya mereka berasal dari satu perguruan yang sama. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar bahwa masyarakat zaman dahulu banyak yang memiliki kekuatan-kekuatan magis (supranatural) yang jarang dimiliki oleh masyarakat pada zaman sekarang.
Seiring berjalannya waktu, terjadi sebuah konflik antar kedua desa tersebut yang hanya dibatasi oleh sebuah sungai yang bernama sungai Lebak. Masyarakat dari desa Pagerandong beserta pemimpinnya menghendaki adanya perluasan wilayah ke desa Selamanik. Akan tetapi, dari pihak masyarakat Selamanik menolak hal itu. Sehingga terjadilah perang besar antar kedua desa. Perang pada saat itu tidak hanya berupa perang fisik, akan tetapi dari kedua pihak saling mengadu kesaktian masing-masing.
Dengan kekuatan yang dimiliki, Eyang Adi Menggala menyebatkan sapu tangannya sehingga terjadi hujan batu di desa Selamanik mulai dari batu yang berukuran kecil hingga batu yang berukuran sangat besar dengan jumlah yang sangat banyak. Melihat kejadian itu, Eyang Purwasuci tidak tinggal diam. Ia berusaha menghalau batu-batu tersebut dengan menggunakan keris yang ia miliki. Akhirnya ia mampu mengembalikan hujan batu yang dikirimkan oleh Eyang Adi Menggala dan kawan-kawannya. Akan tetapi, karena jumlah batu yang berjatuhan itu sangat banyak, Eyang Purwasuci tidak mampu mengembalikan batu-batu tersebut secara keseluruhan ke desa Pagerandong sehingga masih banyak tersisisa batu di desa Selamanik sampai saat ini. Di antara batu-batu tersebut terdapat sebuah batu yang berukuran sangat besar yang tertinggal di sungai Lebak. Namun terdapat keanehan pada batu tersebut yaitu batu tersebut mengapung di atas sungai. Menurut cerita, batu tersebut mengapung akibat kekuatan suci yang dimiliki oleh Eyang Purwasuci. Melihat kekuatan yang dimiliki oleh Eyang Purwasuci, akhirnya niat Adi Benggala untuk menambah luas kawasan desa Pagerandong ke desa Selamanik pun dibatalkan.
Semenjak kejadian itu, nama Selamanik pun berganti menjadi nama Selakambang yang pada dasrnya terdiri dari dua kata yaitu Sela yang berarti batu, dan kambang yang berarti terapung. Sehingga jika digabungkan memiliki arti “batu yang mengapung”. Sampai saat ini, batu besar tersebut masih berada di sungai lebak. Tidak tanggung-tanggung, ukurannya memang sekitar  lima kali lebih besar dari ukuran rumah pada umumnya yang ada saat ini. Hanya saja, keadaannya sudah tidak lagi mengapung seperti cerita yang masyarakat katakan, akan tetapi sungainya mengalir mengitari sungai Lebak yang mengindikasikan bahwa keadaan desa tersebut sudah aman. Kepercayaan masyarakat akan kekuatan gaib yang dimiliki batu besar tersebut masih tersisa sampai saat ini yang dibuktikan dengan adanya masyarakat yang melakukan ritual-ritual khusus pada malam hari terutama malam jumat kliwon dengan berbagai tujuan. Ketika sore hari, banyak masyarakat yang datang  sekedar untuk melihat-lihat pemandangan atau bersantai-santai.
Cerita tidak berhenti sampai di situ. Akibat konflik dan permusuhan yang terjadi antar Eyang Purwasuci dan Adi Menggala, menimbulkan larangan terhadap anak keturunannya untuk saling menikahkan sanak-saudaranya (besanan) antara warga desa Selakambang dengan waarga desa Pagerandong. Ini adalah sebuah karma yang masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat. Jika larangan tersebut dilanggar maka keluarga yang melannggarnya itu akan mendapat musibah. Memang terbukti bahwa masyarakat dari kedua desa tidak melakukan besanan. Sebagian dari mereka yang melanngar hal itu mendapat musibah seperti orang tuanya menjadi gila, terserang penyakit, dan sebagainya. Apakah itu hanyalah kebetulan atau karma atau bahkan kehendak Tuhan? Wallahu’alam.


Untuk Sang Penyair oleh Rudianto


Memuja rasa

Mengagungkan rasa
Merasakan kesedihan siapa
Nestapa

Angkatlah keadilan ke muka mereka
Belenggulah pada selembar cahaya
Bulan dan matahari

Sang penyair
Budi
Nilai
Cita
Jika itu dari Ilahi
Jika itu sebenar hati
Barulah kukatai kau sejati

Asal Mula Pulau Bulat (Depan Kelurahan Sei Enam Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan)

Pada zaman dahulu, ada seorang pemuda dari golongan masyarakat biasa yang mencintai seorang putri dari kerajaan seberang. Dikisahkan bahwa si pemuda berasal dari Pulau Penyengat. Rasa tersebut sudah ditentang oleh orang tuanya karena orang tuanya menganggap bahwa si anak hanya berkhayal saja dan tidak mungkin apa yang diinginkannya itu tercapai. Dan hal itu tentu saja tidak dapat diterima oleh sang raja. Tetapi untuk menolak secara langsung, raja takut dianggap tidak bijaksana oleh masyarakatnya dalam mengambil keputusan hanya karena pemuda tersebut seorang rakyat biasa. Raja pun memikirkan taktik agar pemuda tersebut sulit menjadi suami dari anaknya.
Akhirnya raja mendapatkan sebuah ide dengan memberikan persyaratan kepada si pemuda. Karena rasa cinta dan sayangnya kepada sang putri, si pemuda pun menyanggupi persyaratan yang diberikan oleh sang raja. Persyaratan tersebut adalah ketika proses melamar. Sang raja memberikan persyaratan agar pemuda tersebut menggunakan perahu dalam perjalanan dari kampung halamannya menuju ke kerajaan untuk melamar sang putri, yang mana perjalanan di mulai pada malam hari dan pagi harinya sudah harus sampai ke kerajaan untuk melaksanakan proses melamar. Apabila persyaratan tersebut dapat dipenuhi oleh sang pemuda, maka ia dapat memperistri sang putri. Tetapi jika tidak, maka malapetaka akan menimpa dirinya.
Berbekal dengan keyakinan, pada malam hari mulai lah si pemuda mendayung perahunya dengan dayung kecil. Perahu tersebut berisi cincin emas untuk sang putri dan sebuah payung pengantin serta barang-barang lain yang diperlukan oleh si pemuda. Namun ia membuat kesalahan, dayung seharusnya diletakkan berdiri atau tegak lurus dengan permukaan air sehingga ia dapat mendayung dengan baik dan perahu dapat berlayar hingga waktu yang ditentukan. Tetapi, ia menggunakan dayung terlentang atau sejajar dengan permukaan air, sehingga ia tidak dapat mendayung dengan baik dan sangat sulit sehingga perahu yang ditempatinya berjalan dengan sangat lambat.
Si pemuda tidak putus asa. “Aku pasti bisa, aku bukan seperti pungguk merindukan bulan”, mungkin itulah gambaran yang tepat tentang apa yang sedang dirasakan dan diusahakan oleh si pemuda. Ia terus berusaha mendayung perahunya agar keinginannya dapat terpenuhi. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu. Namun takdir berkata lain. Saat ia sedang berusaha mendayung semampunya dan tepat berada di daerah depan Pulau Sei Enam, dari daratan didengarnya ayam telah berkokok. Ia makin keras mendayung. Ketika ia sedang mendayung, tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiri perahu air laut masuk perlahan-lahan. Si pemuda tidak sempat lagi menyelamatkan diri sehingga ia ikut tenggelam beserta perahunya yang karam. Dari tempat perahunya tenggelam itulah diyakini timbul sebuah pulau yang dikenal dengan nama Pulau Bulat. Pulau ini berbentuk seperti payung yang menurut kepercayaan masyarakat setempat adalah payung pengantin yang dibawa oleh si pemuda. Pulau ini pun diyakini sebagai pulau terapung yang mana di bawah pulau tersebut berbentuk seperti tangkai payung. Tangkai payung itu hanya berjarak sejengkal dari tanah. Di tangkai payung yang bengkok (tempat tangan kita memegang payung saat payung digunakan) juga dipercaya terdapat sebuah cincin yang diyakini bahwa itu adalah cincin yang akan diberikan kepada sang putri. Namun tidak ada satu orang pun yang berani mengambil cincin tersebut karena dijaga oleh ikan kertang. Ikan kertang itu diyakini merupakan jelmaan sang pemuda.
Seorang pria yang bernama Muhammadiyah (sekarang almarhum), ingin membuktikan kebenaran tentang dasar dari Pulau Bulat tersebut. Dengan berbekal keberanian dan keyakinan, beliau pun menyelam ke dasar pulau tersebut, kebetulan beliau adalah seorang penyelam agar-agar dari Pulau Sirai. Menurut penuturan beliau, apa yang dilihatnya sama seperti yang diceritakan oleh masyarakat. Mungkin sudah ada yang menyelam terlebih dahulu sehingga cerita tersebut beredar di masyarakat. Entah apa penyebab pulau bulat itu tidak berdasar dan bagaimana mungkin bisa sebuah pulau terapung tetapi dengan posisi yang selalu tetap di situ dan jika bergerakpun hanya di sekitar situ dan tidak hanyut mengikuti pergerakan arus hingga jauh dari tempat asalnya? Tidak ada yang tidak mungkin selagi Allah berkehendak.

Dusta oleh Rudianto



Janganlah ujung padanya
Menuai pangkal siapa
Sebanyak nanti dihabiskan kata
Kota
Kita
Adalah dusta
Semua ia durjana
Adanya
padaNya…..


Gembala Kambing oleh Rudianto

Sedikit tak peduli
Pada serak jejak matahari
Ia masih tidur memuja mimpi
Padang rumput dikuasai
Kambing  kurus terus dipukuli
Dengan belati berbalur maki
“Dasar kambing tolol! Untuk apa kau hidup kalo menyusahkan aku saja?!”
Kambingpun hanya terdiam mengoyak rumput pahit di dada

Tatkala bangun ia
Lebam
kambing
bekas
pecutnya
Jika syurga di telapak kakinya
‘Kah ia sendiri tahu apa lakunya?
dan salah kambing tuannya??

API DALAM SEKAM


 
Hahahahahahaha !
Tawaku memecah kesunyian
dalam ketakutan mereka
Teriakku meneteskan air mata
dalam lafadz mereka
Amukku membabi buta
dalam diam mereka
Tangisku tak ke hati
dalam tatapan mereka


Acapkali asing akan arwahku
Luntang
lantung
lalu lebur
TAPI
Engkau endap emosi erat

Terasa tangan terjejal terampas
Bahasa membungkam
Tatap tertunduk tapi tajam
Takluklah tanpa tanda

Kau ingin menyatu denganku
Sungguh tak bisa menerjemahkanmu
Laknat tak tersekat


Dalam tawa hilang ayatNya
Derak gelak undang muak
Hingar tatapan nanar

SAYANG
Saya sandera selaput setiap sensasi
Saat suara-suara sayu seraya sangkakala sangat sahih

Sumpah serapah
kau terjaaaaang
ke dalam jiwaku
Berbalik sikap sepintas lalu

Setan
iblis
ifrit
telah berbagi dengan ragaku

Ah
Engkau siapa
Dendammu membabi buta
Ibamu raib tak berjejak

Aku bukan wayang kecilmu
Atas dalang dari pesuruhmu
Kau kira aku tak mampu
Kan kalah dalam egoismu

Asma Allah Aku Angkat Agar Aman Atas Ancaman Angkuhmu